Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Wahai Bidadariku, Bicaralah...!!!!!


Suatu ketika ana mendapat pertanyaan:
bismillah
Ada yg bertanya pada saya dan saya belum mendapat jawaban pasti. Apa boleh istri berpendidikan lebih tinggi dibanding suaminya, kasusnya begini, istri mendapat tawaran beasiswa magister di salah satu perguruan tinggi, tapi belum berani memutuskan untuk diambil mengingat keadaan suami yg khawatir akan ditinggal-tinggal (rumah dengan kampus beda kota) ->mereka belum punya anak dan mengingat suami pun pernah bercerita sangat ingin melanjutkan studi namun terkendala dengan pekerjaannya (harus keluar kerja jika ingin lanjut). Bagaimana baiknya? yang syar'i dan tidak melanggar aturan Allah diambil atau ditolak (beliau belum berdialog dg suaminya dg alasan khawatir tidak enak)
Jzklh


Bismillahirrahmanirrahim………….

Secara syar'i, tidak ada larangan yang mempermasalahkan jika posisi istri lebih tinggi dibandingkan dengan posisi suami, baik dalam hal pendidikan, harta, ataupun jabatan. Sebab, derajat dan posisi masing-masing baik suami ataupun istri  menurut hukum asalnya adalah sama.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

"Dan bagi (hak) perempuan itu adalah (sama) seperti yang diwajibkan bagi mereka terhadap suami mereka secara ma'ruf, (akan tetapi) laki-laki/suami itu memiliki ketinggian derajat di atas mereka/para istri beberapa derajat." (Al-Baqarah: 228)

Mungkin muncul pertanyaan, mengapa derajat sang suami lebih ditinggikan oleh Al-Qur'an dibanding para istri ???

Alasannya adalah karena sangat besarnya tanggung jawab dan beban yang diberikan kepada suami terhadap urusan keluarganya, yaitu tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya dari berbagai segi.

Rasulullah SAW menyatakan:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Seorang laki-laki/suami adalah pemimpin pada keluarganya, dan ia akan ditanya mengenai kepemimpinannya." (Shahih. Imam Bukhari, Muslim, dll.)

Jika sang istri ingin melanjutkan studinya, maka yang pertama harus dilakukannya adalah meminta persetujuan suaminya, karena tidak mungkin melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan suaminya. Saran ana untuk sang istri, carilah waktu yang tepat untuk mengutarakan hal tersebut kepada sang suami, karena suami yang baik, pasti akan mau membicarakan hal tersebut dengan bidadari tercintanya. Akan tetapi dalam mengutarakannya hindari ketika suami dalam keadaan capek sepulang kerja, atau sedang pusing memikirkan sesuatu, karena patut diketahui, jika para ikhwan/laki-laki sedang memikirkan sesuatu atau dalam keadaan lelah dan capek, maka emosinya biasanya labil (wah…ana jadi tersinggung nieh…….).

Jika suami setuju dengan hal tersebut, yaitu dengan istrinya melanjutkan kuliahnya di tempat dan kota yang berbeda dengan rumah mereka, maka sang istri tidak boleh lupa dengan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap suaminya, seberapa pun sibuk kuliahnya (detailnya ana tidak jelaskan lebih lanjut, karena kita semua sudah pada faham n ngerti). Karena hal tersebut sangat berbahaya bagi agama suaminya. Namun sekali lagi, hal ini bisa dibicarakan dengan sang suami. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah keterbukaan dan saling pengertian, serta komunikasi yang baik antara suami dan istri. 

Ilustrasi komunikasi yang baik dan musyawarah antara suami dan istri dalam memutuskan masalah rumah tangga dalam Al-Qur'an diilustrasikan dalam potongan ayat berikut:

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا

"Dan jika mereka berdua telah menginginkan untuk menyapih anaknya, (berdasarkan) keridhoan/persetujuan keduanya, dan merupakan hasil musyawarah keduanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (untuk melakukan hal tersebut.)" (Al-Baqarah: 233)

Dalam ayat di atas, komunikasi yang baik antara suami dan istri dalam memutuskan suatu masalah, harus mengsinkronkan 3 hal,

أَرَادَا : Keinginan tersebut berasal dari keduanya/sinkronisasi keinginan.

تَرَاضٍ مِّنْهُمَا : Keridhoan/persetujuan dari keduanya berdasarkan pertimbangan dari masing-masing.

وَتَشَاوُرٍ : Berdasarkan hasil akhir musyawarah keduanya.

Tentunya, syarat untuk mewujudkan ketiga hal di atas haruslah ada hal pertama yang harus dibangun antara suami dan istri, yaitu keterbukaan. Hal ini diilustrasikan oleh Al-Qur'an:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

"Mereka (para istri) itu adalah pakaian bagi kalian (para suami,), dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi mereka (para istri)." (Al-Baqarah : 187)

Hikmah dari ayat di atas adalah keterbukaan dalam segala hal yang dibingkai dengan komunikasi yang baik, sehingga tidak ada satu hal pun yang ditutup-tutupi antara suami dan istri.

Jika semuanya sudah dibicarakan dengan suami tercinta, maka hasil akhirnya insya Allah tidak akan ada yang tidak sesuai dengan syariat, karena keduanya sudah mempertimbangkannya.

Jika seandainya suaminya tidak setuju, maka ana sarankan kepada sang istri untuk bicara dari hati ke hati dengan suaminya, insya Allah, tidak ada suami yang tidak mau mendengarkan keinginan istrinya. Satu hal yang harus diketahui, bahwa "Kebahagiaan seorang suami akan ada ketika istrinya tersenyum bahagia" dan untuk hal ini, setiap suami akan rela melakukan apa saja demi orang yang sangat dicintainya.

Semoga bermanfaat……….

Khadim Al-Qur'an wa As-Sunnah

Aswin Ahdir Bolano

Post a Comment for "Wahai Bidadariku, Bicaralah...!!!!!"